Pemerintahan Daerah Khusus, Istimewa, dan Ibu Kota

Dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (1) disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.“ Tidak sedikit pandangan yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut Indonesia.
Eko Prasodjo seperti yang dikutip Edi Toet Hendratno menyatakan bahwa Pasal 18B ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan negara mengakui keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesamaan dengan konsep diversity in unity (keragaman dalam kesatuan) dalam sistem federal.2 Hal tersebut dianggap bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut di Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hendratno juga menyatakan bahwa pemberian status otonomi khusus maupun status keistimewaan terhadap daerah-daerah seperti Aceh dan Papua lebih mengarah pada model bentuk susunan negara federal.4 Pandangan tersebut didasarkan pada berbagai alasan dan argumentasi yang ditemukan dalam undang-undang pemerintahan daerah maupun dalam undang-undang yang menjadi landasan yuridis bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah di kedua daerah otonomi khusus tersebut.5 Misalnya diberikannya hak bagi masyarakat Aceh untuk membentuk partai politik lokal, maupun disyaratkan bahwa hanya orang asli papua yang dapat mencalaonkan diri sebagai calon gubernur Papua dan sebagainya.
Akan tetapi, tidak sedikit juga konsep atau teori hukum tata negara yang dapat dijadikan landasan argumentasi untuk menyatakan bahwa status otonomi khusus atau istimewa bagi daerah-daerah tertentu tetaplah merupakan bagian dari model bentuk susunan negara kesatuan yang dianut Indonesia.
Salah satu hasil perubahan UUD 1945 yaitu dengan dijabarkannya secara lebih rinci mengenai sistem pemerintahan daerah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Bagir Manan menyatakan bahwa perubahan Pasal 18 UUD 1945, baik secara struktur maupun substansi perubahan tersebut sangatlah mendasar. Secara struktur, Pasal 18 (lama) sama sekali diganti baru. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa terdapat 4 prinsip yang mendasari ketentuan Pasal 18 UUD 1945, yaitu:
1. Prinsip pembagian daerah yang bersifat hirarkis pada Ayat (1);
2. Prinsip otonomi dan tugas pembantuan pada Ayat (2);
3. Prinsip demokrasi pada Ayat (3) dan Ayat (4); dan
4. Prinsip otonomi seluas-luasnaya pada Ayat (5).
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam terbitan resminya mengenai Panduan dalam memasyarakatkan UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa ada 7 prinsip yang menjadi paradigma dan arah politik yang mendasari Pasal 18, 18A dan Pasal 18B UUD 1945, yaitu:
1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan { Pasal 18 ayat (2) }
2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya { Pasal 18 ayat (5) }
3. Prinsip kekhususan dan keragaman daerah { Pasal 18A ayat (1) }
4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya { Pasal 18B ayat (2) }
5. Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khsusus dan istimewa { Pasal 18 B ayat (1) }
6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum { Pasal 18 ayat (3) }
7. Prinsip hubungan pusat dan daerah dilaksanakan secara selaras dan adil { Pasal 18A ayat (2) }.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terlepas dari asas desentralisasi, yaitu penyerahan urusan dari pemerintah pusat ke daerah otonom untuk menjadikan urusan tersebut menjadi urusan rumah daerah otono itu. Pelaksanaan asas desentralisasi inilah yang melahirkan daerah-daerah otonom. Daerah otonom dapat mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut ini akan dirinci mengenai kewenangan di daerah yang bersifat khusu atau istimewa :
1. Nangro Aceh Darussalam
UU No. 11 Tahun 2006 merupakan undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penggunaan istilah “Pemerintahan Aceh” sebagai nama dari UU No. 11 Tahun 2006 tersebut merupakan suatu yang tidak lazim dalam sistem perundang-undangan Nasional. Berbeda dengan daerah lainnya yang menggunakan istilah “Pemerintahan Daerah Provinsi”, Daerah Otonomi Khusus Aceh tidak menjumbuhkan istilah tersebut di dalam penyebutan nama daerahnya. Penggunaan istilah tersebut sangat tidak sesuai dengan UUD 1945. Tidak terdapatnya istilah “daerah provinsi” di depan istilah “pemerintah” dalam “Pemerintah Aceh” sangat mirip dengan istilah “Pemerintah Republik Indonesia” yang menunjuk pada makna pemerintahan sebuah negara, bukan sebuah daerah.
Aceh juga berhak untuk memiliki bendera, lambang dan hymne daerah sebagaimana yang dimakud dalam ketentuan Pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006. Ada beberapa kekhususan lainnya yang sangat berbeda dengan daerah lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain sebagai berikut:
1. Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. Dalam naskah kerja sama tersebut dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serta Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional
2. Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang memiliki hak antara lain; mengikuti Pemilu untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; mengusulkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh.
3. Di Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Syar’iyah, Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan berdasarkan Qanun.
2. Papua dan Papua Barat
Status Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua saat ini didasarkan pada UU No. 21 Tahun 2001. pemberian status otonomi khusus pada Provinsi Papua setidaknya didasarkan pada dua hal yaitu karena adanya kesenjangan pembangunan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Salah satu kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi Papua dan Papua Barat adalah pada bentuk dan susunan pemerintahannya. Pemerintahan Provinsi Papua terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif dan Pemerintahan Provinsi sebagai badan eksekutif. Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001 berbunyi sebagai berikut:
Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari penggunaan istilah “legislatif dan eksekutif” dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) di atas. Dilihat dari makna istilah “legislatif atau eksekutif” itu merujuk pada pembagian kekuasaan negara atau bagian dari alat kekuasaan negara. C.F. Strong menyatakan dalam konsep negara kesatuan, kedaulatan negara tidak terbagi-bagi. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembentuk undang-undang selain badan pembentuk undang-undang pusat.
Kekhususan lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Papua yang mengarah kepada bentuk negara federal diantaranya; dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001 disebutkan bahwa Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu daerah sebagaimana Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara Indonesia dan Lagu Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia, walaupun dinyatakan bukan sebagai symbol kedaulatan. Akan tetapi hal ini sudah mengarah pada bentuk negara federal.
3. Daerah Istimewa Yogyakarta
Sejarah keistimewaan Yogyakarta berawal dari zaman sebelum kemerdekaan, dimana Kasultanan Yogyakarta merupakan wilayah negara tersendiri yang dikendalikan dan bertanggungjawab secara langsung kepada pemerintahan Hindia-Belanda.23 Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 maka Pada Tanggal 18 atau 19 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya. Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada tanggal 19 Agustus 1945, Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan yang dikenal dengan amanat 5 September 1945.
Amanat Sri Sultan Hamengkubuwono IX, 5 September 1945 diktum berbunyi sebagai berikut:
1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
Begitu pula halnya bunyi diktum 2 amanat Sri Paduka Paku Alam VIII yakni:
Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.
Dari bunyi diktum amanat 5 September 1945 tersebut maka Yogyakarta merupakan kerajaan dan yang menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Yogyakarta adalah Sulltan Kasultanan Yogyakarta dan Adipati Kadipaten Paku Alaman. Hal inilah yang menjadi ciri khas keistimewaan yang dimiliki oleh Yogyakarta.
Itulah sejarah singkat perjalanan keistimewaan Yogyakarta yang sampai saat ini masih dalam polemik terutama setelah meninggalnya Sri Paduka Paku Alam VIII pada tahun 1998. Polemik yang sangat krusial adalah terkait dengan pengisian jabatan Gubernur. Ada yang menghendaki bahwa jabatan Gubernur DIY hendaknya dipisahkan dengan Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman. Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman dijadikan sebagai sebuah lembaga budaya untuk mempertahankan tradisi dan budaya di Yogyakarta.
4. Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai daerah otonom memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia karena itu perlu diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU ini mengatur kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara. Beberapa kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut :
1. Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesiayang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing,serta pusat/perwakilan lembaga internasional
3. Dalam kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah DKI Jakarta dapat mengusulkan kepada Pemerintah penambahan jumlah dinas, lembaga teknis provinsi serta dinas, dan/atau lembaga teknis daerah baru sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anggaran keuangan daerah..
4. Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Gubernur mempunyai hak protokoler, termasuk mendampingi Presiden dalam acara kenegaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Standard

Alat Bukti Dalam Hukum Acara perdata

1. Pengertian dan Tujuan Pembuktian
Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian mutlak yang berlaki bagi setiap orang serta menutup kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi pembuktian dalam ilmu hukum merupakan pembuktian yang konvensional, yaitu pembuktian yang memberikan suatu kepastian yang sifatnya tidak mutlak akan tetapi sifatnya relatif atau nisbi. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kebenaran mutlak, ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat itu tidak benar, palsu, atau dipalsukan. Pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan pembuktian historis.

Membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Dengan kata lain, pembuktian merupakan suatu cara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan atau dalil-dalil yang digunakan untuk menyangkal.

Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan perkara perdata. Dalam perkara pidana mensyaratkan adanya keyakinan hakim berdasarkan bukti-bukti yang sah, sedangkan dalam perkara pedata tidak diperlukan adanya keyakinan hakim, yang penting adalah alat-alat bukti yang sah dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan demikian, dalam hukum acara perdata cukup berupa kebenaran formil saja. Namun secara umum, tujuan pembuktian yuridis adalah untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti, dan tidak meragukan yang mempunyai akibat hukum.

2. Alat-alat Bukti
Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, artinya bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Alat-alat bukti yang dapat diperkenankan di dalam persidangan disebutkn dalam Pasal 164 HIR yang terdiri dari:

a. bukti surat
b. bukti saksi
c. persangkaan
d. pengakuan
e. sumpah
Dalam praktik masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering dipergunakan, yaitu pengetahuan hakim.

. Bukti Surat
Bukti surat atau bukti tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan pemikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat bukti tertulis diabagi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat lainnya yang bukan akta. Sedangkan akta sendiri dibag lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

1. Akta
Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Pembuktian disini merupakan suatu tindakan bahwa peristiwa hukum telah dilakukan dan akta itu adalah buktinya. Sehelai kuitansi merupakan akta yang tergolong sebagai akta dibawah tangan. Suatu akta haruslah ditandatangan untuk membedakan akta yang satu dengan akta yang lainnya atau dengan akta yang dibuat oleh orang lain.

Akta dapat mempunyai fungsi formal, yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurrnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu akta. Selain itu, sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari. Sebagaimana telah disebutkan diatas, akata dibagi menjadi dua yaitu:

a. Akta Otentik
Secara teoritis akata otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Secara dogmatis menurut pasal 1868 KUH Pedata akata otentik adalah akta yang bentuknya ditentukan undang-undang dan dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akata dibuatnya. Berdasarkan Pasal PJN jo. Pasal 1868 KUH Perdata, notarislah satu-satunya pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian yaitu:

1. kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut;
2. kekuatan pembuktian materil, membuktikan antara para pihak bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi;
3. kekuatan mengikat, membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar (orang luar).
Akta otentik dapat dibagi lebih lanjut menjadi akta yang dibuat oleh pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak. Yang pertama merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Jadi inisiatifnya bukan dari orang yang namanya diterangkan di dalam akata itu. Contoh dari akta ini adalah berita acara yang dibuat oleh polisi atau panitera pengganti di persidangan. Akta yang kedua yaitu akta yang dibuat di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan juga apa yang dilihat serta dilakukannya, namun isinya dibuat atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan. Contoh dari akta ini adalah akta tentang jual-beli, sewa-menyewa, dan sebagainya.

b. Akta Dibawah Tangan
Akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat, jadi semata-mata dibuat Antara para pihak yang berkepentingan. Dalam akta dibawah tangan kekuatan pembuktiannya hampir sama dengan akta otentik, bedanya terletak pada kekuatan bukti keluar, yang tidak dimiliki oleh akta dibawah tangan.

2. Surat-surat Lainnya yang Bukan Akta
Surat-surat lainnya yang bukan merupakan akta, dalam hukum pembuktian sebagai bukti bebas, artinya adalah diserahkan kepada hakim. Dalam praktik surat-surat semacam itu sering digunakan untuk menyusun persangkaan.

. Bukti Saksi
Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139-152, 168-172 HIR dan Pasal 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh seorang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan. Jadi keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperolehnya secara berfikir bukanlah merupakan kesaksian. Keterangan saksi haruslah diberikan secara lisan dan pribadi di persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak diwakilkan.

Dalam mempertimbangkan nilai kesaksian hakim harus memperhatikan kesesuaian atau kecocokan antara keterangan para saksi, kesesuaian kesaksian dengan apa yang diketahui dari segi lain tentang perkara yang disengketakan, pertimbangan yang mungkin ada pada saksi untuk menuturkan kesaksiannya, cra hidup, adat-istiadat, martabat para saksi, dan segala sesuatu yang sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya dipercaya sebagai seorang saksi.

Keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dianggap sebagai pembuktian yang cukup, sesuai asas unus testis nullus testis (seorang saksi bukan saksi) dan Pasal 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW. Kekuatan pembuktian dari kesaksian seorang saksi saja tidak boleh dianggap sebagai sempurna oleh hakim. Gugatan harus ditolak apabila penggugat dalam mempertahankan dalilnya hanya mengajukan seorang saksi tanpa alat bukti lainnya. Keterangan seorang saksi ditambah dengan alat bukti lain baru dapat merupakan alat bukti yang sempurna, misalnya ditambah dengan persangkaan atau pengakuan tergugat.

Pada asasnya setiap orang yang bukan salah satu pihak dapat didengar sebagai saksi dan apabila telah dipanggil oleh pengadilan wajib member kesaksian (Pasal 139 HIR, 165 Rbg, 1909 BW). Namun terhadap asas ini ada batasan atau pengecualian kepada orang-orang yang tidak dapat dijadikan sebagai saksi, yaitu:

1. Orang yang Dianggap Tidak Mampu Bertindak Sebagai Saksi
a. Orang yang tidak mampu secara mutlak
. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak (Pasal 145 ayat 1 sub 1 HIR).
. Suami atau istri dari salah satu pihak, meskipun sudah bercerai (Pasal 145 ayat 1 sub 2 HIR)
b. Orang yang tidak mampu secara relatif
Mereka ini boleh didengar, akan tetapi bukan sebagai saksi. Yang termasuk kedalamnya adalah:

. Anak-anak yang belum mencapai umur 15 tahun (Pasal 145 ayat 1 sub 3 jo. Ayat 4 HIR)
. Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat (Pasal 145 ayat 1 sub 4 HIR)
2. Orang yang Atas Permintaan Mereka Sendiri Dibebaskan dari Kewajibannya Untuk Memberikan Kesaksian
a. Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak.
b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus serta saudara laki-laki dan perempuan daripada suami atau istri salah satu pihak
c. Semua orang yang karena martabat, jabatan, atau hubungan kerja yang sah diwajibkan mempunyai rahasia, akan tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukan kepadanya karena martabat, jabatan, atau hubungan kerja yang sah saja.
Seseorang yang dipanggil oleh pengadilan memiliki kewajiban untuk menghadap pengadilan, saksi apabila tidak mengundurkan diri, sebelum memberi keterangan harus disumpah menurut agamanya, dan saksi wajib memberikat keterangan, apabila saksi enggan memberikan keterangan maka atas permintaan dan biaya pihak, hakim dapat memerintahkan menahan saksi

. Persangkaan
Pada hakikatnya yang dimaksud dengan persangkaan tidak lain adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya pembuktian dari ketidakhadiran seseorang pada saat tertentu di suatu tempat dengan membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama di tempat yang lain. Dengan demikian maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan.

Apakah alat bukti itu termasuk persangkaan atau bukan terletak pada persoalan apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang langsung mengenai peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan atau mengenai peristiwa yang tidak diajukan untuk dibuktikan, tetapi ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan. Surat yang tidak ditandatangani, yang langsung ada sangkut pautnya dengan suatu perjanjian yang disengketakan, bukan merupakan persangkaan, demikian pula keterangan saksi yang samar-samar tentang apa yang dilihatnya dari jauh mengenai perbuatan melawan hukum. Sebaliknya keterangan 2 orang saksi bahwa seseorang ada di tempat X, sedang yang harus dibuktikan adalah bahwa seseorang tersebut tidak ada di tempat X , merupakan persangkaan.

Berdasarkan Pasal 1916 BW adalah persangkaan-persangkaan yang oleh undang-undang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu, antara lain:

1. Perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dari sifat dan keadaanya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan undang-undang.
2. Peristiwa-peristiwa yang menurut undang-undang dapat dijadikan kesimpulan guna menetapkan hak pemilikan atau pembebasan dari hutang.
3. Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada putusan hakim.
4. Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atas sumpah oleh salah satu pihak.

. Pengakuan
Pengakuan merupakan keterangan sepihak, karena tidak memerlukan persetujuan dari pihak lawan. Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan. Ada 2 macam pengakuan yang dikenal dalam hukum acara perdata, yaitu pengakuan yang dilakukan di depan sidang dan pengakuan yang dilakukan diluar sidang. Kedua macam pengakuan tersebut berbeda dalam hal nilai pembuktian. Pengakuan yang dilakuakan di depan sidang mempunyai kekuatan bukti yang sempurna, sedangkan pengakuan yang dilakukan di luar sidang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim

Pasal 176 HIR menerangkan bahwa suatu pengakuan harus diterima bulat. Hakim tidak boleh memisah-misah atau memecah-mecah pengakuan itu dan menerima sebagian dari pengakuan sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dan menolak sebagian lainnya yang masih diperlukan pembuktian lebih lanjut. Selain ketentuan mengenai pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisah diatas, hukum acara perdata mengenal apa yang disebut sebagai pengakuan yang berembel-embel. Pengakuain ini terdiri dari pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan klausula. Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari gugatan. Sedangkan pengakuan dengan klausula adalah pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan atau menolak gugatan.

. Sumpah
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa dari Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Jadi pada hakikatnya sumpah merupakan tndakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.

Yang disumpah adalah salah satu pihak (penggugat atau tergugat). Sebenarnya dalah hukum acara perdata kita, para pihak yang berdsengketa tidak boleh didengar sebagai saksi, namun dibuka kemungkinan untuk memperoleh keterangan dari para pihak dengan diteguhkan oleh sumpah yang dimasukan dalam golongan alat bukti.

HIR menyebut 3 macam sebagai alat bukti yaitu; sumpah pelengkap (suppletoir), sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decicoir), dan sumpah penaksiran (aestimator, schattingseed).

1. Sumpah pelengkap atau sumpah suppletoir (Pasal 115 HIR)
Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.

Karna sumpah ini mempunyai fungsi menyelesaikan perkara, maka mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, yang masih memungkinkan adanya bukti lawan. pihak lawan membuktikan bahwa sumpah itu palsu apabila putusan yang didasarkan atas sumpah suppletoir itu telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka bagi pihak yang dikalahkan terbuka kesempatan mengajukan request civil setelah putusan pidana yang menyatakan bahwa sumpah itu plsu (Pasal 385 Rv).

2. Sumpah pemutus yang bersifat menentukan atau sumpah decicoir
Meerupakan sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya (Pasal 156 HIR). Pihak yang meminta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedangkan pihak yang harus bersumpah disebut delaat.

Sumpah ini dapat dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, sehingga pembebanan sumpah decisoir dapat dilakukan setiap saat selama pemeriksaan di persidangan.

Inisiatif untuk membebani sumpah ini dating dari salah satu pihak dan dia pulalah yang menyusun rumusan sumpahnya. Sumpah decisoir dapat dibebankan kepada siapa saja yang dapat menjadi pihak dalam suatu perkara.

Akibat mengucapkan sumpah ini adalah kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti dan pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu, tanpa mengurangi wewenang jaksa untuk menuntut berdasarkan sumpah palsu (Pasal 242 KUHP)

3. Sumpah penaksiran (aestimator, schattingseed)
Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim kaena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian. Sumpah ini baru dapat dibebankan kepada penggugat apabila penggugat telah dapat membuktikan haknya atas ganti kerugian itu serta jumlahnya masih belum pasti dan tidak ada cara lain untuk menentukan jumlah ganti kerugin tersebut kecuali dengan penaksiran. Kekuatan pembuktian sumpah ini sama dengan sumpah suppletoir yaitu bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan.

Telah dikemukan diatas bahwa ada 5 alat bukti yang disebutkan di dalam HIR. Akan tetapi diluar HIR terdapat alat-alat bukti yang data dipergunakan untuk memperoleh kepastian mengenai kebenaran peristiwa yang menjadi sengketa, diantaranya: pemeriksaan setempat dan keerangan ahli.

Pemeriksaan setempat atau descente adalah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.

Keterangan ahli merupakan keterangan pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri. Pada umumnya hakim menggunakan keterangan seorang ahli agar memperjelas suatu peristwa dimana pengetahuan tentang peristiwa itu hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu.

Daftar Pustaka

Retnowulan Sutantio.1979.Hukum Acara Perdata:dalam Teori dan Praktik.Bandung:Mandar maju.

Sudikno Mertokusumo.2006.Hukum Acara Perdata Indonesia.Yogyakarta:Liberty Yogyakarta.

Standard